Selasa, 25 Oktober 2011

STANDARISASI KOMPETENSI BAHASA INDONESIA PADA SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL DALAM KERANGKA PENDIDIKAN KARAKTER




Siti Nurjanah

Abstrak. Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didik berbasis Standar Nasional Pendidikan (SNP) Indonesia, berkualitas internasional dan lulusannya berdaya saing internasional. SBI merupakan kebijakan pemerintah (UU nomor 20 tahun 2003 pasal 50 ayat 3) tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dirancang untuk memperbaiki kualitas pendidikan nasional agar memiliki daya saing dengan negara-negara maju lainya. Hal ini diharapkan dapat menjawab tantangan persaingan dalam bidang teknologi, manajemen, dan sumber daya manusia (SDM). Salah satu kebijakan pelaksanaan SBI adalah bilingual sebagai medium of instruction.
Fakta di lapangan menunjukkan, bahwa pembelajaran bahasa Indonesia kurang diminati siswa. Hasil tes UKBI pada lembaga bahasa menunjukkan hasil yang belum memuaskan. Sementara sudah kita pahami bersama, bahwa bahasa Indonesia diharapkan dapat menjadi kekuatan politis dalam kancah budaya global sebagaimana amanat UU no 24 tahun 2009 tentang bahasa negara.
Bagaimana mencetak sumber daya manusia yang handal, yang kompetitif dan mampu bersaing dalam dunia yang mengglobal ini, tentu saja tidak lepas dari peran aktif sang guru. Pembelajaran sudah semestinya diarahkan untuk mengembangkan multiple intelegence siswa. Pembelajaran diarahkan untuk mengajak siswa berpikir kritis dan peka terhadap lingkungan. Terutama pembelajaran bahasa Indonesia.
Karenanya perlu standarisasi kompetensi terhadap kelayakan guru bahasa Indonesia yang berhak mengajar pada sekolah bertaraf internasional. Bagaimana seharusnya pembelajaran bahasa Indonesia diterapkan dan bagaimana standar penilaian bagi siswa untuk dapat dinyatakan lulus sekolah bertaraf internasional terkait kompetensi berbahasa yang mencakup aspek berbicara, menulis, menyimak, dan membaca. Terutama dalam kerangka pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.

Kata Kunci: Standarisasi Kompetensi, Sekolah Bertaraf Internasional, Pendidikan
Karakter


Dunia pendidikan tak ubahnya dunia bisnis Amerika yang selalu mengalami pembenahan-pembenahan menuju peningkatan mutu, agar dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Demikianlah dunia pendidikan kita. Globalisasi yang berkembang multi dimensi mengharuskan pula perubahan dari sistem pendidikan kita. Kesemuanya mengarah pada mutu produk pendidikan agar dapat diterima dan memenuhi tuntutan global.
Tiga faktor utama yang diperlukan menghadapi persaingan global ini, antara lain adalah keunggulan teknologi, manajemen, dan sumber daya manusia. Namun dari tiga hal tersebut yang terpenting adalah sumber daya manusianya. Bagaimana membangun sumber daya manusia yang ada ini hingga mampu bersaing dalam dunia global? Jawabannya tentu melalui dunia pendidikan. Bagaimana mendesain dan mengelolah dunia pendidikan kita hingga dapat memenuhi tantangan persaingan global? Sekolah Bertaraf Internasional salah satu jawabannya.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 50 ayat 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN 2000/2001) yang dirancang untuk memperbaiki kualitas pendidikan nasional agar memiliki daya saing dengan negara-negara maju lainya, dijelaskan, bahwa pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Juga peraturan pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan yang diuraikan dalam pedoman penjaminan mutu sekolah/madrasah bertaraf internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
SBI (sekolah bertaraf internasional) adalah sekolah yang menyiapkan peserta didik berdasarkan standar nasional pendidikan (SNP) Indonesia yang tarafnya internasional sehingga lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional. Pengembangan SBI mengacu pada SNP + X, yaitu sekolah harus memenuhi 8 standar nasional meliputi standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar sarana dan prasarana, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian. Sedangkan X yaitu nilai plus berupa pengayaan, pengembangan, perluasan melalui adaptasi atau adopsi terhadap standar pendidikan baik dari dalam maupun luar negeri yang memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional.
SBI dikembangkan berdasarkan kebutuhan dan prakarsa sekolah dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) dengan pengembangan kurikulum mutakhir dan canggih sesuai perkembangan ilmu pengetahuan global, pro perubahan dan inovatif, memiliki visi ke depan dengan SDM yang profesional dan didukung sarana prasarana yang lengkap dan canggih.
Salah satu komponen paling penting adalah kurikulumnya mengacu ke kurikulum yang digunakan oleh negara-negara OECD. Untuk kepentingan itu maka bahasa pengantarnya menggunakan bahasa Inggris terutama pada matapelajaran matematika dan Sains.
Di sisi lain Mursal Esten dalam artikelnya yang berjudul Bahasa dan Sastra sebagai Identitas Bangsa dalam Proses Globalisasi (2002) menjelaskan, bahwa fenomena paling menonjol yang tengah terjadi pada kurun waktu ini adalah terjadinya proses globalisasi. Yang dikatakan Alvin Toffler sebagai gelombang ketiga, yakni penguasaan terhadap informasi (ilmu pengetahuan dan teknologi). Proses globalisasi ini lebih banyak ditakuti ketimbang disikapi secara cermat dan arif. Ada anggapan bahwa proses globalisasi informasi akan membuat dunia seragam karena akan menghapus jarak. proses globalisasi akan mengaburkan pula batas budaya masyarakatnya dan nyaris menghilangkan identitas suatu bangsa.
Sejalan dengan tujuan pendidikan nasional dan fenomena tantangan global maka tidak bisa dianggap remeh UU no 20 tahun 2003 tentang penyelenggaraan sekolah bertaraf internasional (SBI) yang tidak sedikit menuai kritik. Terutama terkait upaya peningkatan pemakaian bahasa Indonesia pada tataran Internasional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang no. 24 tahun 2009 tentang bahasa negara.
Salah satu kritik adalah artikel Satriadarma berjudul “Kunjungan Guru SBI ke Jepang: Once Upon Time....” dengan sinis dikatakan, bahwa negara OECD yang dijadikan acuan bagi terselenggaranya Sekolah Bertaraf Internasional, ternyata tidak menerapkan pemakaian bahasa Inggris sebagai pengantar dalam kegiatan belajar mengajar di dalam kelas. Mereka tetap menggunakan bahasa daerah mereka sendiri. Di Jepang menggunakan bahasa Jepang, di Inggris menggunakan bahasa Ingris, di Prancis menggunakan bahasa Prancis, di Korea juga tetap pakai bahasa Korea dst.
Fakta di lapangan menunjukkan, bahwa berdasarkan analisis BSNP yang
disampaikan Mungin Eddy Wibowo, kebanyakan mata pelajaran yang diulang pada UN adalah Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memiliki tingkat kelulusan rendah. Sebesar 75% siswa tidak lulus gagal pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. (KGI:Berita Republika,12 Mei 2010). Hal ini sangat masuk akal jika pembelajaran bahasa Indonesia sudah tidak menyentuh aspek pemenuhan kebutuhan siswa. Pembelajaran menjadi kurang bermakna dan siswa tidak antusias. Hal terburuk bisa juga dipicu oleh kompetensi sang guru pengampu mata pelajaran bahasa Indonesia. Sementara telah kita pahami bersama tentang bagaimana kebutuhan masyarakat yang kuat akan pendidikan budaya dan karakter bangsaPendidikan karakter
Bertolak dari fakta di atas dan anggapan masyarakat, bahwa SBI tak lepas dari bilingual sebagai medium of instruction membawa pemikiran tersendiri bagi penulis, utamanya berkaitan dengan kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa identitas bangsa. Untuk itu pada kesempatan ini saya mengajukan alternatif perlunya standarisasi kompetensi bahasa Indonesia pada sekolah bertaraf internaional (SBI). Pemikiran tersebut penulis rumuskan sebagai berikut:
(1)Bagaimanakah seharusnya standar penerapan pembelajaran bahasa Indonesia pada sekolah bertaraf internasional (SBI)?; (2) Bagaimanakah seharusnya standar kompetensi seorang guru yang berhak mengajar di sekolah bertaraf internasional (SBI); (3)Bagaimanakah seharusnya standar kompetensi bahasa Indonesia bagi siswa yang lulus sekolah bertaraf internasional (SBI)?
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka dapat dituliskan tujuan penulisan makalah yang sederhana ini adalah untuk mengetahui bagaimana idealnya:
(1)Standar penerapan pembelajaran bahasa Indonesia diterapkan pada sekolah bertaraf internasionl;(2)Standar kompetensi bahasa Indonesia bagi guru yang mengajar pada sekolah bertaraf internasional; (3)Standar kompetensi bahasa Indonesia yang harus dimiliki siswa lulusan Sekolah Bertaraf Internasional, terkait kompetensi berbahasa yang mencakup aspek berbicara, menulis, menyimak, dan membaca.

PEMBAHAAN
Globalisasi telah menciptakan kontak lintas antar batas negara, bangsa, dan bahasa meningkat kecepatan dan intensitasnya. Lalu lintas tidak saja terjadi melalui perjalanan, pertukaran jasa, dan komoditas melainkan juga melalui jalur elektronik dengan kecepatan yang dapat diukur dalam hitungan detik.
Sekolah Bertaraf Internasional dirancang untuk menjawab tantangan global itu. Dimana diharapkan lulusannya mampu bersaing dalam dunia internasional. Tak heran jika guru yang mengajar pada sekolah bertaraf internasional harus memenuhi standar tertentu. Selain diharapkan memiliki sertifikat pendidik, juga berijazah S2. Terutama terkait dengan penguasaan bahasa Inggris, guru pengajar pada sekolah SBI wajib memperoleh level 500 untuk toefl. Pembelajaran harus menggunakan dua bahasa (bilingual) sebagai bahasa pengantar kecuali pembelajaran pada mata pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Daerah. Kebijakan ini telah menuai kritik karena dianggap merendahkan bahasa Indonesia sebagai bahasa identitas bangsa.
Fakta di lapangan menunjukkan, bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas terkesan diabaikan siswa. Tidak up date.. Pembelajaran Bahasa Indonesia tidak menjadikan sebagai sesuatu yang dibutuhkan siswa. Pembelajaran menjadi sesuatu yang tidak menarik dan cenderung membosankan. Sementara sudah kita pahami bersama, bahwa Undang Undang no 24 tahun 2009 pasal 43 ditegaskan tentang upaya peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa Internasional Dimana syarat untuk mencapai itu adalah dengan adanya alat uji standar. Alat uji standar yang dimaksud kita kenal dengan istilah UKBI (Uji Kemampuan Berbahasa Indonesia)
Apakah kondisi seperti ini yang diharapkan pada Sekolah Bertaraf Internasional? Para siswa berlomba-lomba mengejar target Toefl 500 untuk mata pelajaran Bahasa Inggris dan cukup tenang dan santai terhadap perolehan kemampuan berbahasa Indonesia? Bahkan, yang lebih tragis adalah berdasarkan pantauan TIM BSNP bahwa beberapa siswa yang terpaksa mengulang Ujian Nasional tahun 2010, justru 75% disebabkan oleh nilai bahasa Indonesia yang kurang.
McKinsey Report 2007, menyebutkan kualitas sebuah sistem pendidikan tidak dapat melampaui kualitas guru-guru di dalamnya. Guru dalam pasal 6 UU RI nomor 14 tahun 2005 dijelaskan berkedudukan sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertangun jawab.
Berdasarkan hasil penelitian antara guru efektif dan guru kurang efektif yang mengajar pada siswa dengan fasilitas dan tingkat kemampuan sama disimpulkan, bahwa guru efektif dapat mengantarkan siswanya berhasil dalam Ujian yang diberikan. Sementara pada siswa yang diajar oleh guru yang tidak efektif gagal dalam ujian yang dimaksud. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa peran guru sangat penting dalam mencetak dan mengarahkan mutu dan kualitas sebuah sistem pendidikan.
Dalam buletin Infora yang diterbitkan oleh Balai Bahasa Surabaya (2008:6), dijelaskan bahwa perkembangan UKBI di Provinsi Jawa Timur cukup menggembirakan. Terbukti selama periode Agustus 2004-Juni 2007 Balai Bahasa Surabaya telah melakukan sosialisasi dan tes UKBI kepada 4340 peserta yang terdiri atas guru, siswa, dan mahasiswa. Berdasarkan jumlah peserta tersebut, hanya terdapat 16 guru dan 24 siswa yang memeroleh skor UKBI dengan predikat istimewa. 16 guru dan 23 siswa yang memeroleh predikat sangat unggul. 609 guru, 736 siswa, dan 236 mahasiswa memeroleh peringkat madya. 2096 atau 49% peserta memeroleh skor dengan predikat semenjana. Bahkan 372 atau 9% mendapat skor dengan predikat marginal. 18 peserta lainnya menyandang predikat terbata. Sungguh hal ini sangat memprihatinkan kita semua. Terutama sekali adalah guru bahasa Indonesia yang sangat sedikit memiliki kemampuan unggul dan istimewa. Jika guru sebagai agen pembelajaran yang diharapkan mencetak gernerasi unggul dan berlevel internasional tidak dapat mencapai predikat unggul apalagi istimewa untuk kemahiran berbahasa Indonesia, bagaimana dengan siswanya. Berikut adalah tabel yang menunjukkan hasil sertifikasi peserta UKBI yang dimaksud.
Tabel : Hasil Sertifikasi peserta UKBI periode 2004-2007 Balai Bahasa Surabaya
Peringkat
Peserta Jumlah
Guru Siswa Mahasiswa
Istimewa 16 (1%) 24 (2%) 0 (0%) 40 (1%)
Sangat Unggul 16 (1%) 23 (1%) 0 (0%) 39 (1%)
Unggul 43 (2%) 138 (9%) 26 (10%) 207 (5%)
Madya 645 (26%) 759 (47%) 152 62%) 1565 (36%)
Semenjana 1422 (57%) 618 (38%) 68 (28%) 2108 (48%)
Marginal 322 (13%) 50 (3%) 0 (0%) 372 (9%)
Terbatas 16 (1%) 2 (0%) 0 (0%) 18 (0%)
Jumlah 2480 (100%) 1614 (100%) 246 (100%) 4340 (100%)
Untuk siapakah sebenarnya alat tes yang berupa UKBI tersebut diciptakan? Sekedar untuk memenuhi standar pengakuan internasional ataukah sebagai upaya memperkokoh posisi bahasa Indonesia di mata masyarakat pemakainya? Tidak ada pilihan yang paling tepat kecuali upaya sinkronisasi antara kepentingan lembaga kebahasaan dengan tujuan pendidikan nasional. Bagaimana bahasa Indonesia dapat diperhitungkan dalam kancah global sangat ditentukan oleh tingkat kemajuan masyarakat dan peranan yang strategis dari masyarakat pemakainya di masa depan. Apalah artinya sebuah standar ditetapkan tanpa ditindaklanjuti dalam bentuk pembinaan dan sosialisasi? Kenyataannya bahasa Indonesia selalu mengalami perkembangan sejalan perkembangan masyarakatnya. Mursal Esten dalam makalahnya (2002) menjelaskan, bahwa sastra Indonesia (dan Melayu) modern pada hakikatnya adalah sastra yang berada pada jalur yang mengglobal itu. Sebagaimana dengan perkembangan bahasa Indonesia, sastra Indonesia tidak ada masalah dalam globalisasi karena memang berada di dalamnya. Yang menjadi soal adalah bagaimana menjadikan bahasa dan sastra itu memiliki posisi yang kuat di tengah-tengah masyarakatnya. Atau lebih jauh, bagaimana langkah untuk menjadikan masyarakatnya memiliki posisi kuat di tengah-tengah masyarakat dunia (lainnya)
Solusi yang bisa ditawarkan adalah berupa pemberlakuan standardisasi bahasa Indonesia. Walaupun faktanya bahwa Sekolah Bertaraf Internasional dirancang dan didirikan atas usulan dari pengelola satuan pendidikan dengan mengedepankan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Namun penerapan standardisasi sangat penting agar apa yang menjadi cita-cita tulus pendidikan nasional dapat terwujud.
Standardisasi yang dimaksudkan adalah standarisasi terhadap penerapan pembelajaran bahasa Indonesia pada Sekolah Bertaraf Internasional, standardisasi kompetensi bagi guru pengajar pada Sekolah Bertaraf Internasional, dan standardisasi kompetensi bagi lulusan Sekolah Bertaraf Internasional.
1. Project Based Learning (PBL) Orientasi Pembelajaran Bahasa Indonesia pada Sekolah Bertaraf Internasional
Mengapa pembelajaran berbasis proyek (PBL)? Globalisasi yang ditandai dengan kompleksitas peralatan teknologi, dan munculnya gerakan rekonstrukturisasi korporatif yang menekankan kombinasi kualitas teknologi dan manusia, menyebabkan dunia kerja memerlukan orang yang dapat mengambil inisiatif, berpikir kritis, kreatif, dan cakap memecahkan masalah. Hubungan “manusia-mesin” bukan lagi merupakan hubungan mekanistik melainkan interaksi komunikatif yang menuntut kecakapan berpikir tinggi. Demikian halnya dengan pemberlakuan pasar bebas dan liberalisasi bidang jasa. Hal ini menyebabkan persaingan dalam dunia kerja semakin ketat.
Pembelajaran Bahasa Indonesia sebagaimana amanat kurikulum diberikan bukan sekedar untuk mengajarkan pengetahuan tentang bahasa, melainkan bagaimana siswa dapat terampil mengunakan bahasa dengan baik. Keterampilan yang dimaksud meliputi aspek berbicara, mendengarkan, menulis, dan membaca.
Project Based Learning (PBL) atau Pembelajaran berbasis projek adalah pembelajaran yang mengarahkan siswa dapat menghasilkan sebuah produk. Projek yang dimaksud adalah projek individual atau grup yang dilaksanakan dalam suatu periode waktu, menghasilkan suatu produk, yang hasilnya kemudian akan ditampilkan atau dipresentasikan. Menggunakan berbagai macam resources, dengan pendekatan student-centered. Berhubungan dengan bidang sains, teknologi serta aplikasinya. Dan menggunakan pendekatan konstruktivisme, problem solving, inquiry, riset, integrated studies, pengetahuan, dan keterampilan, evaluasi, dan refleksi.
Belajar berbasis proyek (project-based learning) adalah sebuah model atau pendekatan pembelajaran yang inovatif, yang menekankan belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan yang kompleks (CORD, 2001; Thomas, Mergendoller, & Michaelson, 1999; Moss & Van-Duzer, 1998). Fokus pembelajaran terletak pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti dari suatu disiplin studi, melibatkan pebelajar dalam investigasi pemecahan masalah dan kegiatan tugas-tugas bermakna yang lain, memberi kesempatan pebelajar bekerja secara otonom mengkonstruk pengetahuan mereka sendiri, dan mencapai puncaknya menghasilkan produk nyata (Thomas, 2000). PBL memerlukan beberapa tahapan dan beberapa durasi, serta belajar kelompok kolaboratif. Proyek memfokuskan pada pengembangan produk atau unjuk kerja (performance), yang secara umum pebelajar melakukan kegiatan: mengorganisasi kegiatan belajar kelompok mereka, melakukan pengkajian atau penelitian, memecahkan masalah, dan mensintesis informasi. Proyek seringkali bersifat interdisipliner. Menurut Alamaki (1999), proyek selain dilakukan secara kolaboratif juga harus bersifat inovatif, unik, dan berfokus pada pemecahan masalah yang berhubungan dengan kehidupan pebelajar atau kebutuhan masyarakat atau industri lokal.
Pembelajaran Berbasis Proyek memiliki potensi yang amat besar untuk membuat pengalaman belajar yang lebih menarik dan bermakna. Pebelajar menjadi terdorong lebih aktif di dalam belajar mereka, instruktur memberi kemudahan dan mengevaluasi proyek baik kebermaknaannya maupun penerapannya untuk kehidupan mereka sehari-hari. Produk yang dibuat pebelajar selama proyek memberikan hasil yang secara otentik dapat diukur oleh guru atau instruktur di dalam pembelajarannya. Oleh karena itu, di dalam Pembelajaran Berbasis Proyek, guru atau instruktur tidak lebih aktif dan melatih secara langsung, akan tetapi instruktur menjadi pendamping, fasilitator, dan memahami pikiran pebelajar.
Proyek pebelajar dapat disiapkan dalam kolaborasi dengan instruktur tunggal atau instruktur ganda, sedangkan pebelajar belajar di dalam kelompok kolaboratif antara 4—5 orang. Pebelajar bekerja di dalam tim, untuk menemukan keterampilan, merencanakan, mengorganisasi, negosiasi, dan membuat konsensus tentang isu-isu tugas yang akan dikerjakan, siapa yang bertanggungjawab untuk setiap tugas, dan bagaimana informasi akan dikumpulkan dan disajikan. Keterampilan-keterampilan yang telah diidentifikasi oleh pebelajar ini merupakan keterampilan yang amat penting untuk keberhasilan hidupnya, Hakikat kerja proyek adalah kolaboratif, Pengembangan keterampilan tersebut berlangsung di antara pebelajar. Di dalam kerja kelompok suatu proyek, kekuatan individu dan cara belajar yang diacu memperkuat kerja tim sebagai suatu keseluruhan.
Buck Institute fo Education (1999) mendefinisikan, bahwa belajar berbasis proyek memiliki karakteristik: (a) pebelajar membuat keputusan, dan membuat kerangka kerja, (b) terdapat masalah yang pemecahannya tidak ditentukan sebelumnya, (c) pebelajar merancang proses untuk mencapai hasil, (d) pebelajar bertanggungjawab untuk mendapatkan dan mengelola informasi yang dikumpulkan, (e) melakukan evaluasi secara kontinyu, (f) pebelajar secara teratur melihat kembali apa yang mereka kerjakan, (g) hasil akhir berupa produk dan dievaluasi kualitasnya, dan (i) kelas memiliki atmosfer yang memberi toleransi kesalahan dan perubahan.
Ciri khas strategi Pembelajaran Berbasis Proyek bersifat kolaboratif (Hung & Chen, 2000; Hung & Wong, 2000). Kegiatan pembelajaran seperti tersebut mendukung proses konstruksi pengetahuan dan pengembangan kompetensi produktif pebelajar yang secara aktual muncul dalam bentuk-bentuk keterampilan okupasional/teknikal (technical skills), dan keterampilan emploiabiliti sebagai pekerja yang baik (employability skills). Kegiatan ini berbasis pada konteks kehidupan sehari-hari pebelajar, baik fisik maupun sosial.
Tidak semua kegiatan belajar aktif dan melibatkan proyek dapat disebut Pembelajaran Berbasis Proyek. Thomas (2000) menetapkan lima kriteria apakah suatu pembelajaran berproyek termasuk sebagai Pembelajaran Berbasis Proyek. Lima kriteria itu adalah keterpusatan (centrality), berfokus pada pertanyaan atau masalah, investigasi konstruktif atau desain, otonomi pebelajar, dan realisme.
Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek adalah pusat atau inti kurikulum, bukan pelengkap kurikulum. Di dalam Pembelajaran Berbasis Proyek, proyek adalah strategi pembelajaran; pebelajar mengalami dan belajar konsep-konsep inti suatu disiplin ilmu melalui proyek.
Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek adalah terfokus pada pertanyaan atau masalah, yang mendorong pebelajar menjalani (dengan kerja keras) konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti atau pokok dari disiplin. Kriteria ini sangat halus dan agak susah diraba. Difinisi proyek (bagi pebelajar) harus dibuat sedemikian rupa agar terjalin hubungan antara aktivitas dan pengetahuan konseptual yang melatarinya yang diharapkan dapat berkembang menjadi lebih luas dan mendalam (Baron, Schwartz, Vye, Moore, Petrosino, Zech, Bransford, & The Cognition and Technology Group at Vanderbilt, 1998). Biasanya dilakukan dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan atau ill-defined problem (Thomas, 2000). Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek mungkin dibangun di sekitar unit tematik, atau gabungan (intersection) topik-topik dari dua atau lebih disiplin, tetapi itu belum sepenuhnya dapat dikatakan sebuah proyek. Pertanyaan-pertanyaan yang mengejar pebelajar, sepadan dengan aktivitas, produk, dan unjuk kerja yang mengisi waktu mereka, harus digubah (orchestrated) dalam tugas yang bertujuan intelektual (Blumenfeld, et al., 1991).
Pada Sekolah Bertaraf Internasional yang notabene adalah tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah, maka pelaksanaan pembelajaran berbasis proyek dilaksanakan dengan berkolaborasi antar dua atau lebih guru mata pelajaran sesuai bidang tugas yang berbeda. Pembelajaran direncanakan dengan menganalisis kompetensi dasar dari beberapa mata pelajaran dimaksud yang kemungkinan dapat dijadikan sebuah proyek. Hal ini diharapkan, bahwa pebelajar dapat mengkontruksi pengetahuan yang dimiliki dalam menyelesaikan masalah. Pebelajar akan merasakan kebermaknaan pembelajaran yang dialami dan berkaitan dalam kehidupan nyata.
Pembelajaran berbasis proyek menempatkan bahasa Indonesia sebagaimana fungsinya sebagai alat komunikasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagaimana amanat kurikulum yang menekankan pembelajaran menitikberatkan pada kemampuan menggunakan Bahasa Indonesia dibanding penguasaan pada pengetahuan tentang bahasa itu sendiri.
Pembelajaran berbasis proyek memberi kesempatan pebelajar untuk mengeksplorasi seluruh kecerdasan yang dimiliki. Pebelajar tidak hanya bekerja untuk mencapai tingkat kecerdasan kognitif saja sebagaimana dikemukakan dalam taxonomi Bloom, melainkan pada tingkat berpikir yang paling tinggi, yakni tingkat menciptakan. Gardner dalam bukunya Frame of Mind: The Theory of Multiple Intelegence menyebutkan bahwa manusia memiliki tujuh tipe kecerdasan yang berbeda. Karir atau profesi tertentu akan melibatkan kombinasi dari beberapa macam kecerdasan. Jarang sekali jenis pekerjaan tertentu itu hanya memerlukan satu dari ketujuh kecerdasan tersebut. Namun, dapat dipastikan bahwa jenis pekerjaan tersebut akan memerlukan satu kecerdasan yang sangat dominan.
Sekolah Bertaraf Internasional, sebagai kebijakan pendidikan nasional dalam rangka menciptakan suatu lembaga yang diharapkan mampu menjawab tantangan global dengan mencetak produk-produk Sumber Daya Manusia (SDM) unggul, sangatlah patut dan disarankan untuk menerapakan Pembelajaran Berbasis Proyek sebagai landasan dalam kegiatan pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas selain juga pembelajaran harus berbasis teknologi informasi. Hal ini tidak hanya untuk menjawab keengganan pebelajar terhadap Bahasa Indonesia, juga untuk menempatkan pembelajaran Bahasa Indonesia dekat dan sesuai dengan apa yang dibutuhkan siswa dalam kehidupannya sehari-hari. Education should allow children to reach their fullest potential in term of cognitives, emotional and creative capacities (UNESCO). Pendidikan harus dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencapai potensi tertingginya, baik dalam bidang kognitif, emosional, dan kemampuan kreatifnya.
2. Standar Kompetensi Bahasa Indonesia bagi Guru yang Mengajar pada Sekolah Bertaraf Internasional
Standarisasi kompetensi bahasa Indonesia bagi guru pengajar pada Sekolah Bertaraf Internasional yang dimaksud, antara lain:
1. Semua guru pengajar pada Sekolah Bertaraf Internasional wajib mengikuti tes UKBI dan dinyatakan lulus minimal mencapai level tertentu yang ditetapkan.
2. Khusus bagi guru Bahasa Indonesia, wajib mengikuti tes UKBI dan dinyatakan lulus dengan skor yang lebih tinggi dari kriteria yang ditetapkan pada guru mata pelajaran lain.
3. Bagi guru yang tidak mencapai standar yang ditetapkan tidak berhak mengajar pada sekolah yang dimaksud sebelum memperoleh pembinaan dan dinyatakan lulus.
4. Hasil uji kompetensi memiliki masa berlaku sesuai ketentuan yang ditetapkan. Dan harus mengikuti tes UKBI ulang untuk periode berikutnya.
5. Guru yang mengampu mata pelajatran Bahasa Indonesia harus menguasai strategi pembelajaran terutama Pembelajaran Berbasis Proyek
6. Guru Bahasa Indonesia pada sekolah Bertaraf Internasional wajib menguasai IT
Standarisasi yang dimaksud di atas pada gilirannya diharapkan dapat mendongkrak posisi bahasa dan sastra Indonesia bukan sebagai objek perubahan, melainkan harus menjadi subyek karena bahasa dan sastra Indoensia amat potensial menjadi bahasa dan sastra yang diperhitungkan di dalam dunia global. Demikianlah sebagaimana dikatakan Mursal Esten dalam artikelnya (Sosiolinguistik:2002), bahwa jika dunia Melayu (dan Indonesia) akan hadir sebagai salah satu global tribe di dunia dan kawasan Asia Pasifik, bahasa dan sastranya harus juga berkembang ke arah itu. Bahasa Melayu (dan Indonesia) harus siap menerima peranan yang demikian. Sastra Indonesia harus tetap menjadi sastra yang unik di tengah-tengah dunia yang global. Bahasa dan sastra Indonesia (Melayu) harus mampu menjadikan kekuatan budaya (global tribe) yang baru itu.
3. Standarisasi Kompetensi Lulusan Sekolah Bertaraf Internasional
Standarisasi kompetensi lulusan adalah standar tentang kompetensi bahasa Indonesia yang ditetapkan bagi peserta didik pada akhir pembelajarannya di setiap jenjang satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Standar yang dimaksud adalah
1. Setiap siswa yang dinyatakan lulus tingkat satuan pendidikan tertentu harus mengikuti tes UKBI sebagaimana yang distandarkan oleh lembaga bahasa yang ditunjuk dengan pencapaian nilai sesuai predikat yang telah ditentukan sebelumnya.
2. Setiap siswa yang dinyatakan lulus pada satuan tingkat pendidikan tertentu, setidaknya telah memnciptakan sebuah produk berdasarkan hasil pembelajaran berbasis proyek yang telah dijalani selama KBM. Produk yang dimaksud menunjukkan kompetensi membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan siswa dan berbasis teknologi informasi.
PENUTUP
Kesimpulan
Untuk memperbaiki kualitas pendidikan nasional agar memiliki daya saing dengan negara-negara lain, tidak hanya dibutuhkan kemampuan menggunakan bahasa asing (bahasa Inggris). Kemahiran dalam memanfaatkan teknologi menjadi sangat penting untuk dapat hidup dalam zaman globalisasi ini. Kemampuan menyelesaikan masalah dan berpikir kritis adalah modal utama agar dapat diterima dan survive dalam persaingan ketat akibat pasar bebas yang tidak hanya merambah dunia perdagangan melainkan juga di bidang jasa.
Karenanya kebijakan tentang sekolah bertaraf internasional (SBI) haruslah diimbangi dengan kebijakan lain yang mendukung terciptanya kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kesatuan Republik Indonesia. Terutama terkait dengan kebijakan pemerintah yang tertuang dalam UU No 24 tahun 2009 tentang upaya peningkatan pemakaian bahasa Indonesia dalam tataran Internasional. Kebijakan yang sudah diimplementasikan dalam bentuk penetapan alat ukur kemampuan berbahasa yang dikenal sebagai Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI). Namun demikian, sebagus apapun alat ukur dibuat tidak akan berarti apa-apa tanpa sasaran yang jelas. Untuk siapakah alat ukur dibuat dan bagaimanakah rambu-rambu ketercapaiannya, serta apa target utama ketercapaiannya?
Kebijakan untuk mengimbangi penerapan sekolah bertaraf internasional (SBI) terkait perkembangan dan pembinaan bahasa Indonesia adalah penerapan standarisasi kompetensi bahasa Indonesia. Standarisasi yang dimaksud meliputi: (1) standarisasi terhadap penerapan Projeck Based Learning (PBL) atau
Pembelajaran Berbasis Proyek pada kegiatan pembelajaran matapelajaran
bahasa Indonesia.
(2) standarisasi kompetensi bahasa Indonesia bagi guru dan guru pengampu mata
pelajaran bahasa Indonesia yang mengajar di sekolah bertaraf internasional
(SBI). Bahwa guru dan guru pengampu mata pelajaran bahasa Indonesia harus
mengikuti tes Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia dan mampu mencapai skor
tertentu yang ditetapkan.
(3) standarisasi kompetensi bahasa Indonesia bagi lulusan sekolah bertaraf
internasional. Setiap lulusan harus mengikuti tes berupa Uji Kemahiran
Berbahasa Indonesia (UKBI) dan mencapai skor tertentu yang ditetapkan.
Setiap lulusan juga sudah menciptakan sekurang-kurangnya satu produk hasil
pembelajaran bahasa Indonesia yang berbasis teknologi informasi.

Saran
Kepada pihak yang berkompeten terhadap kebijakan tentang SBI, bahwa
seyogyanya ada kebijakan yang menghubungkan antara kepentingan tujuan pendidikan Nasional dan tujuan pengembangan bahasa Indonesia agar apa yang menjadi cita-cita tulus Pendidikan Nasional menciptakan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional dapat terwujud.
DAFTAR RUJUKAN

Darma, Satria. 2007. Sekolah Bertaraf Internasional : Quo Vadiz? (Online)
Fille://G:\sbi quo vadis.htm. Satriodarma’s Weblog. Diakses 13/07/2010

Darma, Satria. 2010. Kunjungan Guru SBI ke Jepang: Once Upon Time…
(Online) http://satriadarma-wordpress.com. Diakses 03/05/2010/
12:48PM

Depdiknas.1996. Sekolah Bertaraf Internasional. (Online)
www.depdiknas.go.id: diakses 21 Mei 2010-05-24, 2:44 PM

Desiree. 2009. Pembelajaran Berbasis Proyek. Makalah disajikan dalam
Diklat Adopt a Teacher Sampoerna Foundation. Teacherinstitute.

Dikmenum.Review Rencana Kegiatan Sekolah/Action Plan Sekolah
Penyelenggara Program Rintisan SMA Bertaraf Internasional (Online) www.sbi.dikmenum.go.id: diakses 21 Mei 2010, 2:24 PM

Esten, Mursal.2002. Bahasa dan Sastra sebaai IdentitasBangsa dalam Proses
Globalisasi. Laman Pusat Bahasa (Online) pb@diknas.go.id. Diakses 3/17/2010, 3:25:18 PM

Kamdi, Waras.2008. Project-Based Learning: Pendekatan Pembelajaran
Inovatif. (Online) www.snapdrive.net: diakses 4/19/2010:12:13:14 PM.

Komariyah, Siti.2008.Perkembangan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia
(UKBI) di Jawa Timur. Infora. I Januari hlm.5-8

Rofi’udin, Ahmad, dkk. Tth. Panduan Penulisan Makalah. Malang: YA3
Malang

Suparlan.2007. Kecerdasan Ganda (Multiple Intelligences) Penerapan dalam
Proses Pembelajaran dan Pengajaran (Online) www.suparlan.com. diakses 5/20/2010:12:24 PM.

Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Th.2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional 2003.Jakarta.

------. No 24 Th.2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta
Lagu Kebangsaan.www.legalitas.or.

Wibowo, Munin Edy.2010. Berita Republika. (Online)
www.facebook.KGI.4:diakses 12:2010 PM

BIODATA PENULIS


Siti Nurjanah lahir di Bangil Kab. Pasuruan, 24 Nov. 1967. Pendidikan dasar diselesaikan di kampung kelahirannya, Bangil. Tahun 1986 masuk UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia, lulus 1992. Mengambil program A-4 pada IKIP Malang, lulus 1996. Diangkat CPNS tahun 2008, ditempatkan di SMPN I Bangil sampai sekarang. Tahun 2006 mengikuti pendidikan Magister pada prodi TEP UNIPA Surabaya, lulus 2008.

JEJARING SOSIAL ‘FACEBOOK’, ALTERNATIF MEDIA PEMBELAJARAN SASTRA MASA DEPAN



Oleh: . Siti Nurjanah
Guru Bahasa Indonesia di SMPN I Bangil kabupaten Pasuruan
Jl. Patimura 309 Bangil telp.( 0343) 741551/67153
Emal: sn241167@yahoo.co.id


Kemajuan teknologi berdampak pada berbagai lini kehidupan, baik positif maupun negatif. Hal tersebut tidak harus ditakuti, akan tetapi harus dipahami, disikapi, dan diantisipasi dengan arif dan cermat. Demikian halnya dengan dunia pembelajaran kita. Bagaimana mengajar menjadi lebih bermakna dan dekat dengan dunia siswa. Dunia yang selalu berkembang akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Utamanya teknologi informasi.

Kalau selama ini mutu pendidikan di Indonesia dianggap kurang berhasil, barangkali memang pendekatan pembelajaran yang diterapkan tidak menyentuh pada apa yang dibutuhkan siswa. Pembelajaran masih berpijak pada bagaimana materi pelajaran tersampaikan kepada siswa tanpa memperhatikan apakah siswa senang dan membutuhkan hal tersebut.

Pembelajaran sasta khususnya apresiasi puisi, menulis puisi, bahkan membaca puisi rata-rata masih rendah. Siswa merasa kesulitan memahami makna puisi. Demikian halnya kemampuan siswa membaca puisi. Hal tersebut dipicu oleh strategi pembelajaran yang diterapkan tidak sesuai dengan materi ajar dan karakteristik siswa. Bahkan mungkin dipicu oleh minat/motivasi dari dalam diri siswa itu sendiri yang rendah, karena siswa tidak merasa membutuhkannya.

Berdasar anggapan tersebut penulis mencoba memanfaatkan jejaring sosial facebook sebagai media untuk mengajar sastra pada siswa SMPN I Bangil. Bagaimanakah penerapan jejaring sosial ‘facebook’ dalam pembelajaran sastra?; Apakah jejaring sosial ‘facebook’ dapat meningkatkan minat dan hasil belajar siswa dalam belajar sastra? Tentu saja tujuan akhir dari upaya ini adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pembelajaran sastra jika menggunakan media facebook, dan sejauh mana peningkatan yang diperoleh jika pembelajaran menggunakan media facebook.

Media berasal dari bahasa latin medius yang secara harfiah berarti ‘tengah, perantara’. Atau ‘pengantar’ (Arsyad, 2002:3). Dalam bahasa Arab, media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan (Arsyad,2002:3). Media merupakan alat yang menjadi perantara untuk menyampaikan sebuah pesan pada orang lain. Dalam hal ini pesan yang dimaksudkan adalah informasi dari materi pembelajaran.

Facebook dalam pembelajaran sastra digunakan sebagai media pamer hasil karya berupa pembacaan puisi. Media pampang dari pemodelan. Selain untuk kepentingan publikasi, sharing, saling mengkritisi, dan memberikan penilaian hasil karya siswa, juga sebagai media konsultasi kepada guru. Manfaat lain menggunakan media jejaring sosial ini adalah tidak terbatas waktu yang tersedia bagi guru untuk mengajar di dalam kelas. Siswa dapat melakukan penilaian kapan saja, dan dimana saja. Menjadikan pembelajaran dekat dengan dunia yang dibutuhkan siswa. Mengajarkan siswa untuk dapat memanfaatkan teknologi. Menjauhkan siswa dari kemungkinan penyalahgunaan teknologi.

Untuk dapat memanfaatkan facebook sebagai media pembelajaran diperlukan pendekatan Project Based Learning (PBL). Project Based Learning (PBL) atau Pembelajaran berbasis projek adalah pembelajaran yang mengarahkan siswa dapat menghasilkan sebuah produk. Proyek yang dimaksud adalah proyek individual atau grup yang dilaksanakan dalam suatu periode waktu, menghasilkan suatu produk, yang hasilnya kemudian akan ditampilkan atau dipresentasikan. Menggunakan berbagai macam resources, dengan pendekatan student-centered. Berhubungan dengan bidang sains, teknologi serta aplikasinya. Dan menggunakan pendekatan konstruktivisme, problem solving, inquiry, riset, integrated studies, pengetahuan, dan keterampilan, evaluasi, refleksi, dll.
Hal penting dalam PBL adalah melakukan koordinasi dan kolaborasi dengan guru mata pelajaran lain yang terkait dengan proyek yang akan dikerjakan.
Pembelajaran ini dilaksanakan selama 4 kali pertemuan. Pertama mengondisikan siswa terhadap tugas yang harus dikerjakan. Kedua dan ketiga adalah praktik melaksanakan tugas. Bisa di rumah atau di kelas dengan memanfaatkan sarana prasarana yang ada. Keempat, siswa mepresentasikan hasil di depan kelas untuk dinilai. selanjutnya meng-upload ke facebook yang telah dibuat guru.
Penilaian dilakukan oleh guru dan siswa. Penilaian mencakup ketepatan waktu. Kriteria membaca puisi (intonasi, mimik, ekspresi, dan pelafalannya). Kesesuaian ilustrasi dengan makna dan suasana batin puisi. Kerjasama, dan kreativitas produk.
Berdasarkan pengamatan, dari 36 siswa 32 siswa mendapatkan nilai ≥85 (88%). 4 siswa mendapatkan nilai ≤ 76 (11%). Hal ini menunjukkan bahwa ketuntasan siswa terhadap kompetensi dasar membaca puisi 100%.
Peningkatan motivasi belajar Sastra dilihat dari sebaran angket yang diberikan guru setelah pelaksanaan pembelajaran. Berikut tabel angket yang diberikan pada siswa

No Aspek Sebelum Sesudah
Setuju tidak setuju Tidak
1 Facebook bermanfaat

5 siswa 31 siswa 28 siswa 8 siswa

2
Pembelajaran Sastra menyenangkan
6 siswa 30 siswa 34 siswa
2 siswa


3 Pembelajaran sastra menggunakan media facebook memotivasi kreativitas siswa 5 siswa 31 siswa 33 siswa 3 siswa
4 Bangga dapat menghasilkan sebuah produk 15 siswa 21 siswa 27 siswa 9 siswa

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa facebook dapat
dimanfaatkan sebagai media pada pembelajaran sastra. Selain dapat meningkat hasil belajar juga motivasi siswa terhadap pembelajaran sasta meningkat. Hal ini perlu mendapatkan perhatian bagi guru terutama guru bahasa Indonesia.

Senin, 14 Maret 2011

Oleh Dewi Iriani

Fenomena blog sudah mulai memasyarat di Indonesia. Para blogger (sebutan untuk mereka yang mempunyai weblog) sudah berani menulis apapun di laman blognya. Mereka menulis dari hal – hal yang paling sepele sampai hal yang berat..

Banyak hal menarik bisa kita lihat. Misalnya mereka yang sebelumnya hanya membaca blog, terus memberikan komentar di blog orang lain. Lama – lama tertarik juga membuat blog sendiri. Sesudah membuat blog timbul keinginan untuk menulis. Bahkan tanpa mereka sadari, akhirnya takjub kepada diri sendiri karena ternyata mereka mampu. Dan lebih membanggakan lagi karena karyanya itu dibaca dan diapresiasi. Pujian berupa komentar positif banyak mereka terima. Bahkan tak jarang kata – kata penyemangat yang bisa membuat hati berbunga – bunga. Begitulah asal – muasal seseorang mulai menulis di blog. (Diangkat dari pengalaman nyata seorang Kompasianers).

Secara kuantitas kita boleh berbangga dengan jumlah tulisan yang marak di blog saat ini. Tapi jika kita menilik pada kualitas, rasanya kita pantas untuk instrospeksi diri. Apakah tulisan kita sudah memadai dari sisi kualitasnya?

Ada berbagai parameter yang bisa dilakukan untuk mengujinya. Yang pertama tentu saja memposting tulisan kita di blog. Dalam beberapa hari kita bisa lihat, berapa orang yang membaca tulisan kita. Selanjutnya bagaimanakah penilaian mereka. Di Kompasiana ada ukuran tertentu dalam menilai tulisan yaitu menarik, bermanfaat, inspiratif dan aktual.

Kita juga bisa membaca dari beberapa komentar yang masuk. Tapi terkadang kita tak tahu siapa yang berkomentar dan sejauh mana pengetahuan dan wawasan dia dalam dunia kepenulisan. Jadinya komentar atau penilaian seperti itu tidak akurat. Kadang tidak bisa dipertanggungjawabkan atau dijadikan ukuran standar kualitas tulisan.

Mengikuti berbagai lomba kepenulisan bisa menjadi cara jitu untuk menilai kualitas karya kita. Jika kita masih belum bisa menang, artinya kita masih harus banyak belajar. Naskah yang tidak menang tadi jangan langsung dibuang ke tong sampah, tetapi baca, koreksi dan cari mengapa naskah yang kita anggap bagus tersebut tidak memenangkan lomba. Perbaikilah kembali dan simpan sebagai dokumentasi. Suatu saat kalau kita membutuhkan, kita bisa dengan mudah membukanya kembali.

Baca dan pelajari juga naskah – naskah yang pernah memenangkan sayembara. Atau juga tulisan yang sudah dimuat di media. Hal itu memberi gambaran konkret tentang standar kualitas sebuah karya yang bisa diterima.

Cara yang lebih hebat lagi adalah mengirim naskah kita ke media atau penerbit. Media seperti koran atau majalah mempunyai kualitas ketat dalam penilaiannya. Tidak boleh salah ketik, bahasa harus gampang dimengerti dan lain sebagainya. Bahkan karya yang sudah bagus pun masih bisa ditolak dengan alasan tema yang sama telah ditulis orang sebelumnya. Lho, jadi?

Artinya tulisan kita selain harus bagus dari teknik penulisannya juga harus orisinil. Galilah ide baru yang tidak pernah dibuat orang sebelumnya. Tetapi kadang hal itu masih terbentur juga untuk dipublikasikan. seperti alasan salah satu media paling top di Indonesia. Bahwa karya yang masuk banyak sekali dan ruang untuk memuatnya terbatas. Jadinya mereka super selektif dalam memilih karya terbaik. Artinya juga, bahwa benar – benar karya yang paling baiklah yang bisa diterbitkan di media tersebut.

Berkaca dari realita yang ada, menyembul sebentuk harapan dalam dada. Hendaknya fenomena blog yang sudah mulai memasyarakat ini memberikan semangat positif bagi dunia kepenulisan di Indonesia. Diharapkan karya tulis akan semakin banyak dan bervariatif. Dan tak lupa semoga diikuti kualitasnya juga. Ayo, semangat terus para blogger Indonesia!

Ujungberung, 13102010

Sabtu, 12 Maret 2011

Fenomena Pendidikan Kita

Fenomena Masyarakat Pendidikan Kita

Oleh; *Siti Nurjanah


Saya teringat betul kata-kata Karl Mark yangn disitir oleh seorang teman, “Tidak ada persahabatan yang abadi, yang abadi hanyalah kebutuhan...” Demikianlah kata-kata itu begitu tiba-tiba terngiang-ngiang dalam benak. Saat itu dengan serta merta saya jawab dengan nada ketus. “Tidak selamanya persahabatan terjalin oleh suatu kebutuhan. Apalagi jika cinta yang mendasari keterikatan seseorang dengan lainnya, karena cinta adalah totalitas rasa di mana di dalamnya ada ketulusan hati dan kerelaan untuk berkorban, saling berbagi dan keinginan untuk memberi...” Demikianlah hari-hari yang terlalui selalu saya pahami dengan menekan bentuk-bentuk materi yang menjadikan seseorang berperilaku egois, pelit , dan kurang peduli.

Hari ini ketika saya membaca teori tentang motivasi kebutuhan Maslow, saya menyadari bahwa kebutuhan manusia dikelompokkan menjadi dua, yakni kebutuhan defisiensi dan kebutuhan pengembangan. Kebutuhan defisiensi adalah kebutuhan fisiologis, keamanan, dicintai serta diakui dalam kelompoknya, dan harga diri atau prestasi. Sedangkan kebutuhan pengembangan mencakup kebutuhan aktualisasi diri, keinginan untuk mengetahui dan memahami dan yang terakhir kebutuhan estetis. Teori ini otomatis menyadarkan saya bahwa cinta adalah keinginan terhadap sesuatu: benda (materi), kedudukan, jabatan, ilmu, atau bahkan terhadap sesama atau orang lain. Kebutuhan manusialah yang menyebabkan sebuah perilaku tertentu. Kebutuhan manusialah yang menyebabkanya untuk memilih: tetap seperti sebelumnya atau berubah?

Saya berpikir, ternyata memang tidak ada yang abadi di dunia ini. Yang abadi hanyalah perubahan. Kebutuhan manusia akan sesuatu memaksanya mau atau tidak telah memicu terjadinya perubahan. Demikian halnya dengan dengan perubahan paradigma baru pendidikan kita. Laju perkembangan teknologi yang berjalan sangat cepat, globalisasi di segala bidang, dan perubahan paradigma baru pemerintahan kita, tidak bisa tidak menuntut pula perubahan pada paradigma pendidikan kita. Secara otomatis kurikulum yang ada patutlah turut disempurnakan. Yang menjadi permasalahan adalah siapkah kita sebagai pelaksana dan penerjemah kurikulum di garis depan dunia pendidikan kita menerima perubahan ini?

“Ganti menteri ganti kurikulum” demikian tanggapan yang sering kita dengar setiap kali pemberlakuan kuriklum baru. Kenyataan yang ada memang pemberlakuan kurikulum baru berkaitan dengan perubahan susunan kabinet, yang berarti penjabat menteri pendidikan adalah orang yang berbeda. Pejabat yang berbeda berdampak pula pada penentuan kebijakan yang berlaku. Fenomena ini terjadi karena seringnya terjadi perubahan kurikulum. Kuriklum 1984 misalnya diberbaharui dengan kurikulum 1994, demikian halnya dengan kuriklum 1994 disempurnakan dengan kurikulum 2004. Bahkan kurikulum 2004 yang belum sempat dipahami sempurna oleh seluruh jajaran pelaksana pendidikan sudah disempurnakan lagi dengan kuriklum 2006. Namun demikian, benarkan tanggapan tentang ‘ganti menteri ganti kurikulum’ harus diikuti dan diyakini oleh kalangan masyarakan penidikan kita? Terutama guru sebagai ujung tombak keberhasilan pendidikan di Indonesia? Yang mesti dipahami adalah bahwa kurikulum dikembangkan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Apakah kurikulum yang dikembangkan dapat menjawab tantangan kebutuhan masyarakat kita? Ataukan sudah selayaknya dilakukan pembenahan? Sepuluh tahun bukan waktu yang pendek utnuk mengevaluasi hasil kurikulum. Dari tahun 1984 menjadi kuriklum 1994, kemudian menjadi kulriklum 2004 yang terkenal dengan sebutan KBK.

Kurikulum Berbasis Kompetensi pada dasarnya merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi yang dibakukan untuk mencapai tujuan nasional dan cara pencapaianya disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan daerah dan sekolah/madrasah(Puskur:2002). Kompetensi yang dimaksud meliputi pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.

Pengertian pada kalimat ‘cara pencapaiannya disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan daerah dan sekolah/madrasah’ diatas menunjukan adanya keberagaman kuriklum yang didasarkan pada potensi daerah. Dengan demikian dalam penerapannya, pembelajaran dilakukan sesuai dengan kebutuhan peserta didik sehingga memungkinkan peserta didik merasa kebermaknaan pembelajaran yang dialami. Untuk itu inovasi dan kreativitas guru dalam kegiatan belajar di kelas sangat diperlukan. Terutama dalam rangka membawa peserta didik dalam situasi alamiah dan menyenangkan.

Namun, ketika saya mencoba memberikan nuansa baru pada kegiatan belajar kebetulan kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa adalah dapat melakukan kegiatan wawancara dan menarasikan hasil wawancara, ternyata telah menimbulkan kesalahpahaman.

Permasalahan ini bermula ketika sekelompok siswa mengadakan wawancara dengan kepala sekolah. Wawancara berlangsung dengan sangat menarik hingga tak terasa bel berbunyi menandakan jam pelajaran Bahasa Indonesia telah usai. Pada saat itu si pewawancara merasa masih ada satu narasumber lagi yang belum sempat diwawancarai. Pada jam pelajaran esoknya mereka melanjutkan “hunting” informasi. Ketika itu bertemulah kelompok pewawancara dengan bapak kepala sekolah. Beliau berkomentar “Lho, ada apa kok di luar. Ini kan jam pelajaran?, ayo masuk!” Para siswa menjawab “Mau wawancara, Pak” Dijawab ulang oleh bapak Kepala Sekola, “Lha kalau begini kamu kan ndak dapat pelajaran...”

Peristiwa di atas hanyalah sebagian dari kejadian atau peristiwa yang mungkin juga dialami oleh guru lain di tempat yang berbeda. Barangkali ada yang lebih parah dari ini. Apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Mengapa seseorang sulit menerima perubahan? Sudah baguskan apa yang selama ini dijalani? Virus kemapanankah yang sedang menggejala? Enggan atau malas memotivasi diri menerima pembaharuan? Atau perubahan dianggap sebagai pembodohan? Barangkali karena kurangnya pemerataan informasi. Atau perlu mengkondisikan kesiapan kita sebelum sebuah perubahan diberlakukan. Sebagaimana halnya dengan pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, penting artinya kesiapan daerah sebagai penentu kebijakan dan guru sebagai pelaksana pendidikan terdepan dalam melaksanakan dan menerjemahkan amanat kurikulum.

Model Grass Root adalah salah satu model pengembangan kurikulum yang saat ini dianggap paling tepat dilaksanakan di Indonesia. Hal ini dipandang berdasarkan beragamnya potensi daerah, baik tentang topografi, kondisi sosial ekonomi, maupun budaya masyarakatnya. Model ini mengutamakan inisiatif pengembangan kuriklum berasal dari bawah, yaitu guru dan sekolah. Penggagas (guru atau sekolah) dapat meminta bantuan dari atasannya atau narasumber yang ada di sekitarnya.

Lagi-lagi perubahan. Pembaharuan dan penyempurnaan pemberlakuan kurikulum baru (KTSP) dengan model pengembangan kuriklum yang diterapkan haruslah dipahami dengan sempurna. Baik oleh pihak dinas pendidikan, daerah, sekolah, maupun guru. Tanpa kesamaan persepsi nonsense dapat dicapai tujuan pendidikan sesuai harapan.

Pemberlakuan kurikulum tingkat satuan pendidikan(KTSP) janganlah hanya sebagai sebuah pernyataan. Belum berada pada kategori penerapan. Artinya, kurikulum yang ada diterapkan mentah (utuh) apa adanya. Padahal menurut ketentuan, kurikulum pusat hanyalah sebuah kerangka patokan untuk dikembangkan oleh sekolah atau daerah sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Bagaimana kondisi lingkungan daerahnya. Apa prioritas pengembangan potensi daerahnya. Hal yang mestinya disentuh dalam rangka menyiapkan peserta didik agar mampu bersaing dalam dunia global. Peluang ketersediaannya lapangan kerja. Mempersiapkan diri agar memiliki life skill (keterampilan, mengahadapi atau menjalani hidup).

Demikian halnya dengan upaya sekolah yang selalu berupaya untuk meningkatkan mutu belajar siswanya dengan jalan meraih NEM tinggi. Upaya ini dilakukan dengan mengelompokkan siswa tertentu yang dianggap memiliki kecerdasan yang lebih tinggi. Hal yang sebenarnya akan mengkotak-kotak siswa . Padahal dalam pembelajaran modern siswa dianggap memiliki kecerdasan yang berbeda. Tidak ada siswa yang dianggap lebih pandai dari yang lain, melainkan mereka memiliki kecerdasan tertentu yang tidak dimiliki yang lain. Hal ini berakibat pada mental tinggi hati, sombong, dan eksklusif.

Barangkali memang yang patut diyakini pada kita adalah bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan. Maka yang penting dalam menerapkan segala perubahan hasruslah dimulai dengan membangun mental masyarakat pendidikannya. Mental yang berorientasi ke masa depan. Bersikap terbuka, dan siap menghadapi tantangan perubahan sebagaimana diungkapkan Prof. Nyoman S. Degeng, bahwa menyampaikan sesuatu yang baru tidaklah dapat dengan serta merta diberikan tanpa melihat kondisi kepada siapa pembaruan itu disampaikan. Harus ada upaya pengkondisian terlebih dahulu. Jika yang disampaikan adalah paradigma baru maka yang dikondisikan adalah paradigma (pola pikir) masyarakat (objek)nya. Kita harus mengubah pola pikir masyarakat pendidikan kita sebelum apa yang kita inginkan (perubahan) pada pendidikan, kita berikan. Tentunya mengubah kebiasaan yang telah mapan bertahun-tahun tidaklah mungkin dapat dilakukan hanya dalam beberapa minggu saja. Perlu warming-up, perlu pelatihan yang kontinyu dan bersifat terus menerus.

Contoh nyata tentang konsep pemahaman atas model pembelajaran yang berbeda. Apakah kepala sekolah yang merasa mapan dengan pengetahuannya? Atau guru yang ‘sok’ merasa ‘avant garde’ atau ‘eksklusif’? Bukan guru atau kepala sekolah yang harus dipersalahkan, melainkan sudahkah penyampaian informasi tentang pembaharuan sudut pandang terhadap pembelajaran sudah merata?

Pembentukan kelompok kelas tertentu sebagai ‘trik’ sukses meraih nem tertinggi dengan membentuk kelas unggulan dan kelas reguler, bahkan munculnya kelas rintisan bertaraf internasional yang letaknya sehalaman dengan kelas lain jelas bertentangan dengan amanat kuriklum yang harus menempatkan dan menghargai siswa dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Apakah penetapan UAN sebagai salah satu penentu kelulusan siswa yang harus dipersalahkan? Atau egoisme kepala sekolah yang menginginkan teputasi lembaga yang dipimpinnya?

Uan penting dalam rangka mengukur standar mutu pendidikan nasional, terutama dengan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Namun jelas akan sangat jauh berbeda hasilnya jika materi UAN tidak bersifat standar sebagaimana yang tertera pada standar isi. Hal ini dimungkinkan agar soal dapat dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat pendidikan kita, dari Sabang sampai Meraoke. Bagi guru sendiri tidaklah perlu merasa takut jika UAN tidak menjadi eksekutor kelulusan siswa.

Namun demikian lagi-lagi kesiapan masyarakat pendidikan kita menerima segala perubahan adalah hal yang paling penting. Mengubah paradigma(pola pikir) masyarakat pendidikan kita tidaklah dapat dilakukan dengan serta merta perlu waktu dan tentunya dana yang tidak sedikit.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hosted Desktop