Sabtu, 12 Maret 2011

Fenomena Pendidikan Kita

Fenomena Masyarakat Pendidikan Kita

Oleh; *Siti Nurjanah


Saya teringat betul kata-kata Karl Mark yangn disitir oleh seorang teman, “Tidak ada persahabatan yang abadi, yang abadi hanyalah kebutuhan...” Demikianlah kata-kata itu begitu tiba-tiba terngiang-ngiang dalam benak. Saat itu dengan serta merta saya jawab dengan nada ketus. “Tidak selamanya persahabatan terjalin oleh suatu kebutuhan. Apalagi jika cinta yang mendasari keterikatan seseorang dengan lainnya, karena cinta adalah totalitas rasa di mana di dalamnya ada ketulusan hati dan kerelaan untuk berkorban, saling berbagi dan keinginan untuk memberi...” Demikianlah hari-hari yang terlalui selalu saya pahami dengan menekan bentuk-bentuk materi yang menjadikan seseorang berperilaku egois, pelit , dan kurang peduli.

Hari ini ketika saya membaca teori tentang motivasi kebutuhan Maslow, saya menyadari bahwa kebutuhan manusia dikelompokkan menjadi dua, yakni kebutuhan defisiensi dan kebutuhan pengembangan. Kebutuhan defisiensi adalah kebutuhan fisiologis, keamanan, dicintai serta diakui dalam kelompoknya, dan harga diri atau prestasi. Sedangkan kebutuhan pengembangan mencakup kebutuhan aktualisasi diri, keinginan untuk mengetahui dan memahami dan yang terakhir kebutuhan estetis. Teori ini otomatis menyadarkan saya bahwa cinta adalah keinginan terhadap sesuatu: benda (materi), kedudukan, jabatan, ilmu, atau bahkan terhadap sesama atau orang lain. Kebutuhan manusialah yang menyebabkan sebuah perilaku tertentu. Kebutuhan manusialah yang menyebabkanya untuk memilih: tetap seperti sebelumnya atau berubah?

Saya berpikir, ternyata memang tidak ada yang abadi di dunia ini. Yang abadi hanyalah perubahan. Kebutuhan manusia akan sesuatu memaksanya mau atau tidak telah memicu terjadinya perubahan. Demikian halnya dengan dengan perubahan paradigma baru pendidikan kita. Laju perkembangan teknologi yang berjalan sangat cepat, globalisasi di segala bidang, dan perubahan paradigma baru pemerintahan kita, tidak bisa tidak menuntut pula perubahan pada paradigma pendidikan kita. Secara otomatis kurikulum yang ada patutlah turut disempurnakan. Yang menjadi permasalahan adalah siapkah kita sebagai pelaksana dan penerjemah kurikulum di garis depan dunia pendidikan kita menerima perubahan ini?

“Ganti menteri ganti kurikulum” demikian tanggapan yang sering kita dengar setiap kali pemberlakuan kuriklum baru. Kenyataan yang ada memang pemberlakuan kurikulum baru berkaitan dengan perubahan susunan kabinet, yang berarti penjabat menteri pendidikan adalah orang yang berbeda. Pejabat yang berbeda berdampak pula pada penentuan kebijakan yang berlaku. Fenomena ini terjadi karena seringnya terjadi perubahan kurikulum. Kuriklum 1984 misalnya diberbaharui dengan kurikulum 1994, demikian halnya dengan kuriklum 1994 disempurnakan dengan kurikulum 2004. Bahkan kurikulum 2004 yang belum sempat dipahami sempurna oleh seluruh jajaran pelaksana pendidikan sudah disempurnakan lagi dengan kuriklum 2006. Namun demikian, benarkan tanggapan tentang ‘ganti menteri ganti kurikulum’ harus diikuti dan diyakini oleh kalangan masyarakan penidikan kita? Terutama guru sebagai ujung tombak keberhasilan pendidikan di Indonesia? Yang mesti dipahami adalah bahwa kurikulum dikembangkan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Apakah kurikulum yang dikembangkan dapat menjawab tantangan kebutuhan masyarakat kita? Ataukan sudah selayaknya dilakukan pembenahan? Sepuluh tahun bukan waktu yang pendek utnuk mengevaluasi hasil kurikulum. Dari tahun 1984 menjadi kuriklum 1994, kemudian menjadi kulriklum 2004 yang terkenal dengan sebutan KBK.

Kurikulum Berbasis Kompetensi pada dasarnya merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi yang dibakukan untuk mencapai tujuan nasional dan cara pencapaianya disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan daerah dan sekolah/madrasah(Puskur:2002). Kompetensi yang dimaksud meliputi pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.

Pengertian pada kalimat ‘cara pencapaiannya disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan daerah dan sekolah/madrasah’ diatas menunjukan adanya keberagaman kuriklum yang didasarkan pada potensi daerah. Dengan demikian dalam penerapannya, pembelajaran dilakukan sesuai dengan kebutuhan peserta didik sehingga memungkinkan peserta didik merasa kebermaknaan pembelajaran yang dialami. Untuk itu inovasi dan kreativitas guru dalam kegiatan belajar di kelas sangat diperlukan. Terutama dalam rangka membawa peserta didik dalam situasi alamiah dan menyenangkan.

Namun, ketika saya mencoba memberikan nuansa baru pada kegiatan belajar kebetulan kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa adalah dapat melakukan kegiatan wawancara dan menarasikan hasil wawancara, ternyata telah menimbulkan kesalahpahaman.

Permasalahan ini bermula ketika sekelompok siswa mengadakan wawancara dengan kepala sekolah. Wawancara berlangsung dengan sangat menarik hingga tak terasa bel berbunyi menandakan jam pelajaran Bahasa Indonesia telah usai. Pada saat itu si pewawancara merasa masih ada satu narasumber lagi yang belum sempat diwawancarai. Pada jam pelajaran esoknya mereka melanjutkan “hunting” informasi. Ketika itu bertemulah kelompok pewawancara dengan bapak kepala sekolah. Beliau berkomentar “Lho, ada apa kok di luar. Ini kan jam pelajaran?, ayo masuk!” Para siswa menjawab “Mau wawancara, Pak” Dijawab ulang oleh bapak Kepala Sekola, “Lha kalau begini kamu kan ndak dapat pelajaran...”

Peristiwa di atas hanyalah sebagian dari kejadian atau peristiwa yang mungkin juga dialami oleh guru lain di tempat yang berbeda. Barangkali ada yang lebih parah dari ini. Apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Mengapa seseorang sulit menerima perubahan? Sudah baguskan apa yang selama ini dijalani? Virus kemapanankah yang sedang menggejala? Enggan atau malas memotivasi diri menerima pembaharuan? Atau perubahan dianggap sebagai pembodohan? Barangkali karena kurangnya pemerataan informasi. Atau perlu mengkondisikan kesiapan kita sebelum sebuah perubahan diberlakukan. Sebagaimana halnya dengan pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, penting artinya kesiapan daerah sebagai penentu kebijakan dan guru sebagai pelaksana pendidikan terdepan dalam melaksanakan dan menerjemahkan amanat kurikulum.

Model Grass Root adalah salah satu model pengembangan kurikulum yang saat ini dianggap paling tepat dilaksanakan di Indonesia. Hal ini dipandang berdasarkan beragamnya potensi daerah, baik tentang topografi, kondisi sosial ekonomi, maupun budaya masyarakatnya. Model ini mengutamakan inisiatif pengembangan kuriklum berasal dari bawah, yaitu guru dan sekolah. Penggagas (guru atau sekolah) dapat meminta bantuan dari atasannya atau narasumber yang ada di sekitarnya.

Lagi-lagi perubahan. Pembaharuan dan penyempurnaan pemberlakuan kurikulum baru (KTSP) dengan model pengembangan kuriklum yang diterapkan haruslah dipahami dengan sempurna. Baik oleh pihak dinas pendidikan, daerah, sekolah, maupun guru. Tanpa kesamaan persepsi nonsense dapat dicapai tujuan pendidikan sesuai harapan.

Pemberlakuan kurikulum tingkat satuan pendidikan(KTSP) janganlah hanya sebagai sebuah pernyataan. Belum berada pada kategori penerapan. Artinya, kurikulum yang ada diterapkan mentah (utuh) apa adanya. Padahal menurut ketentuan, kurikulum pusat hanyalah sebuah kerangka patokan untuk dikembangkan oleh sekolah atau daerah sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Bagaimana kondisi lingkungan daerahnya. Apa prioritas pengembangan potensi daerahnya. Hal yang mestinya disentuh dalam rangka menyiapkan peserta didik agar mampu bersaing dalam dunia global. Peluang ketersediaannya lapangan kerja. Mempersiapkan diri agar memiliki life skill (keterampilan, mengahadapi atau menjalani hidup).

Demikian halnya dengan upaya sekolah yang selalu berupaya untuk meningkatkan mutu belajar siswanya dengan jalan meraih NEM tinggi. Upaya ini dilakukan dengan mengelompokkan siswa tertentu yang dianggap memiliki kecerdasan yang lebih tinggi. Hal yang sebenarnya akan mengkotak-kotak siswa . Padahal dalam pembelajaran modern siswa dianggap memiliki kecerdasan yang berbeda. Tidak ada siswa yang dianggap lebih pandai dari yang lain, melainkan mereka memiliki kecerdasan tertentu yang tidak dimiliki yang lain. Hal ini berakibat pada mental tinggi hati, sombong, dan eksklusif.

Barangkali memang yang patut diyakini pada kita adalah bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan. Maka yang penting dalam menerapkan segala perubahan hasruslah dimulai dengan membangun mental masyarakat pendidikannya. Mental yang berorientasi ke masa depan. Bersikap terbuka, dan siap menghadapi tantangan perubahan sebagaimana diungkapkan Prof. Nyoman S. Degeng, bahwa menyampaikan sesuatu yang baru tidaklah dapat dengan serta merta diberikan tanpa melihat kondisi kepada siapa pembaruan itu disampaikan. Harus ada upaya pengkondisian terlebih dahulu. Jika yang disampaikan adalah paradigma baru maka yang dikondisikan adalah paradigma (pola pikir) masyarakat (objek)nya. Kita harus mengubah pola pikir masyarakat pendidikan kita sebelum apa yang kita inginkan (perubahan) pada pendidikan, kita berikan. Tentunya mengubah kebiasaan yang telah mapan bertahun-tahun tidaklah mungkin dapat dilakukan hanya dalam beberapa minggu saja. Perlu warming-up, perlu pelatihan yang kontinyu dan bersifat terus menerus.

Contoh nyata tentang konsep pemahaman atas model pembelajaran yang berbeda. Apakah kepala sekolah yang merasa mapan dengan pengetahuannya? Atau guru yang ‘sok’ merasa ‘avant garde’ atau ‘eksklusif’? Bukan guru atau kepala sekolah yang harus dipersalahkan, melainkan sudahkah penyampaian informasi tentang pembaharuan sudut pandang terhadap pembelajaran sudah merata?

Pembentukan kelompok kelas tertentu sebagai ‘trik’ sukses meraih nem tertinggi dengan membentuk kelas unggulan dan kelas reguler, bahkan munculnya kelas rintisan bertaraf internasional yang letaknya sehalaman dengan kelas lain jelas bertentangan dengan amanat kuriklum yang harus menempatkan dan menghargai siswa dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Apakah penetapan UAN sebagai salah satu penentu kelulusan siswa yang harus dipersalahkan? Atau egoisme kepala sekolah yang menginginkan teputasi lembaga yang dipimpinnya?

Uan penting dalam rangka mengukur standar mutu pendidikan nasional, terutama dengan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Namun jelas akan sangat jauh berbeda hasilnya jika materi UAN tidak bersifat standar sebagaimana yang tertera pada standar isi. Hal ini dimungkinkan agar soal dapat dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat pendidikan kita, dari Sabang sampai Meraoke. Bagi guru sendiri tidaklah perlu merasa takut jika UAN tidak menjadi eksekutor kelulusan siswa.

Namun demikian lagi-lagi kesiapan masyarakat pendidikan kita menerima segala perubahan adalah hal yang paling penting. Mengubah paradigma(pola pikir) masyarakat pendidikan kita tidaklah dapat dilakukan dengan serta merta perlu waktu dan tentunya dana yang tidak sedikit.

0 komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hosted Desktop